Allah ta’ala berfirman,
يَرْفَعْ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah akan mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang mendapatkan karunia ilmu beberapa derajat, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah : 11).
Yang dimaksud oleh ayat ini adalah orang beriman yang berilmu lebih utama dan diangkat derajatnya lebih tinggi oleh Allah ta’ala daripada orang beriman yang tidak berilmu (Fath Al-Bari, 1/92. Asy-Syamilah).
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,
أيها الناس : افهموا هذه الآية ولْتُرغِّبْكم في العلم ، فإن الله يرفع المؤمن العالم فوق مَن لا يعلم درجات
“Wahai manusia, pahamilah ayat ini (Al-Mujadilah : 11) niscaya ia akan memotivasi kalian untuk menimba ilmu, karena sesungguhnya Allah mengangkat orang beriman yang berilmu di atas orang (beriman) yang tak berilmu.” (Dinukil oleh Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Zaadul Masiir, Asy-Syamilah).
Allah ta’ala berfirman,
نَرْفَع دَرَجَات مَنْ نَشَاء
“Kami mengangkat derajat orang-orang yang Kami kehendaki.” (QS. Al-An’aam : 83 dan Yusuf : 76).
Zaid bin Aslam rahimahullah mengatakan bahwa maksudnya Allah akan mengangkat manusia dengan sebab ilmunya (Fath Al-Bari, 1/92, Asy-Syamilah).
Dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
“Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat dengan kitab suci ini sebagian orang dan menghinakan sebagian yang lain.” (HR. Muslim [1353]).
Allah ta’ala berfiirman,
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Katakanlah; Wahai Rabbku, tambahkanlah ilmu kepadaku.” (QS. Thaha : 114).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata mengomentari ayat ini, “Ayat ini mengandung penunjukan yang sangat jelas untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Sebab Allah ta’ala tidak pernah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu selain dari tambahan ilmu. Sedangkan yang dimaksud di sini adalah ilmu syar’i -sebagaimana disebutkan oleh Al-Alusi rahimahullah dalam tafsir Ruhul Ma’ani, pent- yang akan membuahkan faedah bagi setiap orang yang terbebani syariat sehingga dia akan mengerti apa yang wajib dilakukannya dalam urusan ibadah atau pun muamalahnya, ilmu tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, perintah Allah yang harus dilakukannya, menyucikan Allah dari berbagai sifat kurang dan cela. Poros ilmu-ilmu tersebut adalah pada ilmu tafsir, fiqih, dan hadits.” (Fath Al-Bari, 1/92. Asy-Syamilah).
Dari Abud Darda’ radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menimba ilmu, maka Allah akan menuntunnya berjalan di atas jalan di antara jalan-jalan ke surga. Sesungguhnya para malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya karena meridhai penimba ilmu. Orang yang berilmu niscaya akan dimintakan ampunan oleh segala makhluk yang ada di langit dan di bumi, bahkan oleh ikan yang berada di kedalaman air (laut). Sesungguhnya keutamaan seorang alim di atas seorang ahli ibadah sebagaimana keutamaan bulan pada malam purnama dibandingkan seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris nabi-nabi. Para nabi tidak meninggalkan warisan dinar dan dirham, (namun) mereka meninggalkan warisan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya maka sungguh dia telah mendapatkan jatah warisan yang sangat banyak.” (HR. Abu Dawud [3157] disahihkan oleh Al-Albani dalam Sahih Targhib wa Tarhib, 1/63/68. Asy-Syamilah).
Dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka akan dipahamkan dalam urusan agama.” (HR. Bukhari [69,2884,6768] dan Muslim [1719,1721,3549]).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan salah satu pelajaran yang dapat diambil dari hadits ini adalah besarnya keutamaan bertafqquh/mendalami agama. Beliau juga menyimpulkan dari hadits ini bahwa; orang yang tidak berusaha untuk mendalami agama -tidak mau mempelajari pokok-pokok ajaran Islam dan cabang-cabangnya- maka sungguh dia telah terhalang dari kebaikan. Hadits ini juga menunjukkan besarnya keutamaan menimba ilmu agama dibandingkan ilmu-ilmu yang lainnya (Fath Al-Bari, 1/115. Asy-Syamilah).
Tercabutnya ilmu tanda dekatnya kiamat
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ وَيُشْرَبَ الْخَمْرُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا
“Sebagian tanda hari kiamat adalah; ketika ilmu diangkat, kebodohan merajalela, khamr diminum, dan zina terjadi secara terang-terangan.” (HR. Bukhari [78] dan Muslim [4824]).
Hadits yang mulia ini dicantumkan oleh Al-Bukhari rahimahullah di dalam Kitabul Ilmi bab terangkatnya ilmu dan tampaknya kebodohan, kemudian Bukhari membawakan ucapan Rabi’ah, “Tidak selayaknya orang yang memiliki ilmu untuk menyia-nyiakan dirinya.” Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, maksud ucapan Rabi’ah ini adalah bagi orang yang mampu memahami dan mencerna ilmu tidak selayaknya meninggalkan kesibukan untuk belajar karena hal itu akan menyebabkan terangkatnya ilmu (Fath Al-Bari, 1/131. Asy-Syamilah). Yang dimaksud terangkatnya ilmu adalah kematian orang yang membawanya (para ulama). Khamr diminum, maksudnya seringnya hal itu terjadi dan kabarnya tersiar ke mana-mana (Fath Al-Bari. Asy-Syamilah).
Dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu secara langsung dari dada manusia. Namun Allah mencabut ilmu dengan wafatnya para ulama, sampai-sampai apabila Allah tidak menyisakan lagi seorang alim, maka orang-orang pun mengangkat pemimpin yang bodoh-bodoh. Mereka berfatwa tanpa dasar ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari [98] dan Muslim [4828]).
Hadits yang mulia ini dicantumkan oleh Al-Bukhari rahimahullah di dalam Kitabul Ilmi bab bagaimana cara tercabutnya ilmu. An-Nawawi rahimahullah berkesimpulan dari hadits ini bahwa di dalamnya terkandung maksud anjuran untuk menjaga ilmu serta mengambilnya dari ahlilnya (Al-Minhaj, 9/32. Asy-Syamilah).